sebelumnya, saya mau menjelaskan dulu kalo postingan saya ini saya ambil dari note di facebook nya Bapak Yus Husni, yang sebenernya saya juga tidak ngenal beliau, tapi kebetulan saya menemukan note ini dari facebook salah satu dosen saya yg muncul di newsfeed saya. jadi mohon maaf ya pak, saya pinjam tulisannya karena tulisan ini ok banget. inspiratif banget. smoga bermanfaat :)
“My Name Is Susi. But There Is No Susi Air.”
Sebelum wawancara dimulai, Susi menyodorkan sebuah majalah terbitan Jerman. Entah apa nama majalah itu, lupa. Susi memperlihatkan tulisan tentang profile dirinya. Di majalah itu, tulisan tentang Susi dibuat dalam dua bagian. Bagian pertama, kalau diterkemahkan kurang lebih artinya: Jangan Ikuti Susi! Bagian kedua: Sekarang Ikutilah Susi!
Satu lagi yang diingatkan Susi sebelum wawancara, bahwa tidak benar sebelum sukses jadi pengsuha, dia menjual ikan di bakul, menawarkan ikan jualannya dari satu pintu penginapan ke pintu penginapan lain di Pangandaran.
“Tidak seperti itu,” kata Susi.
Memang, mengenali sosok pengusaha perikanan dan penerbangan ini agak sulit. Apakah dia itu seorang pengusaha, sosialita atau pemberontak? Hingga kini, setelah sukses dalam berbisnis, sifat-sifat original Susi tidak luntur sedikitpun. Tajam melihat peluang, kritis memahami persoalan.
Berjalan Tanpa Rencana
Bisnis perikanan dan aviation yang dijalankan Susi Pudjiastuti seperti berjalan tanpa rencana. Mungkin, dalam menjalani hidupnyapun, Susi tidak punya rencana. Susi tidak pernah membayangkan bisnis yang digelutinya akan berkembang seperti sekarang. Saat ini, turn over bisnis Susi diperkirakan tidak kurang dari US$30 juta per tahun.
“Saya tak punya rencana dari awal akan seperti ini. Kebayang saja tidak,” kata perempuan kelahiran Pangandaran, Ciamis 15 January 1965 ini.
Susi adalah tipikal perempuan pantai yang jenius. Sejak kelas satu Sekolah Dasar sampai lulus SMP di Pangandaran Susi selalu menempati rangking pertama di kelasnya. Tapi seperti umumnya anak jenius, banyak hal yang didapatnya dari keluarga maupun sekolah, tidak bisa memuaskan pikirannya. Susi melanjutkan sekolah ke tingkat SMA di Yogyakarta.
Seperti halnya di SD dan SMP, Susi selalu mampu menjadi peringkat satu. Namun sekali lagi, semua itu tidak membuat nyaman pikirannya. Sampai pada suatu hari tahun 1982, tanpa sepengetahuan orangtuanya di Pangandaran, ia memutuskan untuk berhenti sekolah.
“Alasannya sederhana, saya tidak happy. Sekolah tidak bisa mengakomodasi pemikiran-pemikiran dan keinginan-keinginan saya.” kata Susi dengan enteng.
Berkaitan dengan pendidikan Susi yang SMA-pun tidak tamat, ada cerita menarik ketika suatu hari pemenang hadiah Nobel bidang Ekonomi tahun 2001, Joseph E. Stiglitz datang ke Jakarta. Salah satu acaranya, dia mengundang makan malam sejumlah pakar, professional, akademisi dan pengusaha untuk berdiskusi.
Pada acara itu semua yang hadir memperkenalkan diri, dengan menyebut nama, pekerjaan dan jenjang pendidikannya. Ada yang master, doctor atau professor. Ketika giliran Susi harus menyebutkan jenjang pendidikannya, awalnya dia agak ragu. Tapi akhirnya dengan percaya diri, dia memperkenalkan diri bahwa pendidikannya hanya sampai kelas dua SMA.
Setelah diskusi berjalan, professor dari Columbbia University itu memuji Susi.
“Anda cuma sampai kelas dua SMA. Tapi [pemikiran] anda tidak beda dengan mereka,” kata Stiglitz pada Susi sambil menunjuk peserta orang-orang yang ada di situ.
Setelah tidak bersekolah lagi, ia kembali ke kampung halamannya, Pangandaran. Begitu tahu bahwa Susi sudah tidak bersekolah lagi, orangtuanya marah besar. Selama berhari-hari Susi tidak disapa sama orangtuanya. Lalu, selama empat bulan dia benar-benar nganggur.
Baru kemudian, untuk mengisi waktu Susi ikut berjualan berbagai macam barang dan hasil laut bersama ayahnya. Tapi selain berdagang, Susi juga aktif membantu berbagai kegiatan lembaga swadaya masyarakat, LSM, termasuk membuat dan menjual kaos yang bertuliskan ajakan golput pada pemilu tahun 1982. Tidak heran kalau waktu itu Susi sering berurusan dengan aparat keamanan, karena sikapnya yang menentang berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru.
Gambaran tentang Susi seperti itu, relevan dengan ingatan kawan-kawan di masa SMA. Iwan Qodar Imawan, teman lama Susi ketika masih sekolah SMA di Yogyakarta, yang juga mantan Pemimpin Redaksi majalah Gatra mengatakan, Susi adalah sosok yang ulet dan sulit diduga. Sulit membayangkan seorang pedagang kain dan ikan tiba-tiba menjadi pengusaha penerbangan. Selain itu, dalam ingatan teman-temannya, Susi adalah anak yang sangat cerdas.
“Untuk seorang yang tidak selesai SMA mampu bernegosiasi dengan banker atau pabrikan pesawat, itu sangat hebat,” kata Iwan.
Mulai Berbisnis
Tahun 1984 Susi mulai berbisnis sendiri. Ia berjualan bed cover, kain pantai, hasil bumi, ikan, sarang burung walet, udang, lobster dll. Tahun 1985 ia mendapat pinjaman uang Rp 5 juta dari seorang mitra bisnisnya di Tanjung Priok, Jakarta, untuk modal kerja.
Itu adalah quantum leaf bisnis Susi yang pertama. Dengan modal Rp 5 juta itu dengan ketekunan dan kegigihannya, bisnis Susi berkembang. Karena ia berbisnis komoditas hasil alam, maka naik-turunnya bisnis itu sangat ditentukan musim. Tahun 1991-92 sempat anjlok.
Namun musim segera berganti, tahun 1995 adalah musim lobster yang sangat melimpah. Saat itu dia banyak mengirim lobster ke perusahaan-perusahaan besar di berbagai kota besar. Tapi perusahaan-perusahaan besar itu sering kali tidak fair dalam berbisnis, sering mempermainkan harga.
Kecurangan itu juga yang memotivasi Susi hingga memutuskan menyewa sebuah pabrik di Cicurug Sukabumi, Jawa Barat. Setahun kemudian, tahun1996 ia mendirikan PT Andhika Samudra International, karena untuk mengekspor lobsternya, ia harus punya perusahaan sendiri. Jadilah ia pengekspor terbesar lobster saat itu.
Peruntungan bisnisnya terus membaik. Tahun 1996 Susi bertemu dengan pengusaha Korea dan Jepang yang mengajaknya kerjasama untuk membangun pabrik pengolahan ikan di Pangandaran. Mereka, kata Susi, berjanji akan menyediakan modal, mesin dan sebagainya. Setelah dilakukanlah MoU dan pabrik sudah berdiri, pengusaha dari Korea dan Jepang itu tidak muncul-muncul. Padahal Susi membangun pabrik itu dengan dana cashflow untuk bisnis lobsternya di Cicurug.
“Akibatnya, pabriknya jadi tapi tidak beroperasi karena kehabisan uang. Akhirnya bisnis saya kembali ke skala lokal, karena tidak mampu untuk ekspor,” kenang Susi.
Tapi akhir tahun 1996 itu juga, seorang pengusaha Jepang lainnya, yang sebelumnya sudah menjadi buyer hasil laut Susi, membuka letter of credit yang kemudian dijadikan jaminan ke bank untuk menarik pinjaman. Beroperasilah pabrik pengolahan ikan di Pangandaran.
Agustus 1997, Susi melakukan ekspor perdana dari pabriknya sendiri di Pangandaran. Lalu pengusaha Jepang itu membantu Susi dengan memberi red close L/C. Padahal saat itu perbankan Indonesia tidak dipercaya oleh perbankan international.
“Saat itu Bank Exim tidak punya US dollar, akhirnya mereka memberi pinjaman dalam rupiah. Padahal red close L/C harus bisa dicairkan dalam US dollar,” kata Susi.
Ketika krisis moneter mulai melanda dan ekonomi nasional terpuruk, mulai akhir 1997, pendapatan Susi justru menjadi berlipat-lipat karena penerimaannya dari ekspor dalam US dollar. Saat itu omset bisnis Susi berkisar US$5 juta sampai US$10 juta per tahun.
Susi yang juga aktif di LSM-LSM, termasuk di bidang lingkungan hidup, bertekad bisnis sektor kelautan yang ia pilih adalah bisnis non-aqua culture dan non chemical. Dia bercerita, saat itu banyak orang yang menertawakan.
“Tapi saya bilang sama buyer, lebih baik kalian makan bakteri daripada makan bahan kimia seperti chlorine. Saya percaya hasil laut dari Pangandaran cukup bagus, karena nelayan di sana menangkap ikan secara harian. Tidak ada hasil laut yang tersimpan lama. Jadi tidak perlu dicuci pakai zat kimia segala. Dan lagi, itu bisa merubah rasanya,” kata Susi.
Tahun 2001 Susi mendapat pinjaman dari KFW, sebuah lembaga keuangan dari Jerman untuk pengadaan mesin-mesin yang lebih modern. Susi sengaja memilih refrigerator yang tidak memakai freon, tapi menggunakan amoniak agar ramah lingkungan.
Kasihan Laut Kita
Meski bisnis perikanannya berkembang, namun Susi sangat prihatin dengan industri kelautan nasional. Kalau bicara perikanan, kata Susi, semua mata tertuju ke Indonesia. Tapi di laut Indonesia tidak ada regulasi, peraturan, siapapun bisa menangkap ikan yang kecil sampai yang besar. Ratusan sampai ribuan kapal asing bebas merampok laut Indonesia kapanpun.
“Selain mencuri ikan, mereka masih dapat bahan bakar [BBM] bersubsidi lagi. Makanya saya tidak setuju dengan subsidi BBM,” tegas Susi.
Sebagai catatan, satu kapal mengkonsumsi BBM minimal 5.000 sampai 10.000 liter per hari. Bisa dihitung, berapa besar pemerintah RI mensubsidi para pencuri ikan di laut Indonesia?
Di sisi lain, perhatian pemerintah terhadap industri hasil laut sangat minim. Satu contoh kasus, pada pameran perikanan dua tahunan di Brussel, Belgia, di boot Malaysia terdapat banner besar, what you get in fishery in Malaysia? Pioneer status for new investor, free of anytax for 7 – 12 years, reward of re-investment, 3% of interest rate. Selain itu, Menteri Agriculture Malaysia nongkrong di situ dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore.
Sebagai pembanding, Susi menyodorkan data biaya yang harus dibayar di muka oleh calon investor di Indonesia. Biaya mendirikan PT, pendaftaran di Departemen Kehakiman [bayar], biaya notaris, bayar izin prinsip 0,005% dari nilai investasi [ke pemda], bayar mendapatkan izin mendirikan bangunan [IMB], PPN 0,045% dari nilai investasi, impor mesin kena PPh 22, bunga kredit bank 15%, retribusi hasil laut 14%. “Itu yang resmi. Belum speed up fee!!” kata Susi.
Di tempat yang sama, Menteri Indonesia datang dengan 10 pengiringnya, berbincang-bincang 10 menit, terus pergi. Padahal, berbicara tentang industri kelautan Indonesia, industri kelautan Malaysia menjadi bukanlah apa-apa.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Peternakan dan Perikanan, Juan Permato Adoe membenarkan apa yang dikatakan Susi. Menurut dia, pengembangan industri hasil laut Indonesia juga terkendala oleh perbedaan kepentingan tiga institusi, Pemda, Department Kelautan dan Perikanan dan Department Kehutanan.
“Karena itu, sampai sekarang, target ekspor perikanan nasional sebesar 1,2 juta ton per tahun tidak pernah tercapai. Selain itu, datanya tidak pernah akurat,” kata Juan.
Juan menambahkan, survey di Yamdena Nusa Tenggara Timur yang head to head dengan Darwin, seharusnya mengahasilkan sedikitnya US$150 juta per tahun, karena Darwin bisa menghasilkan US$400 juta per tahun. Sebagai pembanding di dalam negeri, Pangandaran dengan panjang pantai 20 km hasilnya mencapai Rp 150 miliar per tahun. Artinya, pemanfaatan sumber daya kelautan nasional, nyaris belum dilakukan. Kecuali oleh para nelayan asing yang setiap hari merampok hasil laut Indonesia.
Tsunami Aceh dan Susi Air
Karena letak geographis Pangandaran berada di ujung tenggara Jawa Barat, perlu waktu delapan jam mengangkut hasil laut lewat jalan darat untuk sampai ke Jakarta. Sehingga banyak lobster atau ikan yang mati.
Ikan atau lobster yang mati, harganya menjadi sama dengan yang dijual di supermarket. Satu-satunya solusi agar komoditas ikan dan lobster bisa sampai di Jakarta dalam keadaan hidup, ya harus menggunakan moda transportasi udara.
Mulai tahun 2000 Susi mulai melakukan survey untuk pengadaan pesawat. Empat tahun kemudian dia masukkan proposal untuk kredit pengadaan pesawat ke beberapa bank. Pada umumnya bank-bank menilai peoposal itu sebagai ide gila.
“Seorang pejabat bank mengatakan, kalau proposal ini diterima, bukan kau saja Susi yang dianggap gila, sayapun akan dianggap gila. Tapi akhirnya, Director of Commercial Banking Bank Mandiri saat itu, Ventje Rahardjo [kini Dirut Bank Syari’ah BRI] mengerti visi kita,” kata dia.
Setelah melalui berbagai presentasi dan feasibility study, Agustus 2004 kredit bisa cair. Tapi dua pesawat itu baru masuk Indonesia beberapa bulan kemudian, tepatnya November 2004, delapan hari menjelang lebaran. Lalu pesawat itu dioperasikan untuk mengangkut hasil laut ke Jakarta, sekalian melatih beberapa pilot.
Tanggal 26 Desember 2004 pagi terjadi gempa dan tsunami dahsyat di Aceh. Susi hanya bisa melihat kejadian itu di layar televisi. Sahabatnya, Teten Masduki dari ICW, menceritakan bahwa kondisi Aceh seperti killing field. Mendapatkan penjelasan demikian, Susi langsung memutuskan untuk membantu korban tsunami. Pada 27 Desember dua pesawat yang baru sebulan diterimanya itu, dia mau karyakan selama dua minggu plus uang Rp 500 juta untuk biaya operasionalnya.
Tapi niat baik Susi itu tidak begitu saja bisa dijalankan. Ada kendala, dalam kontrak dengan perusahaan asuransi: pesawat itu tidak boleh diterbangkan di Aceh, Ambon, Papua, atau war zone lainnya.
Mengetahui hal itu, Susi langsung minta jaminan asuransi dari pemerintah, jika dalam misi membantu korban tsunami terjadi sesuatu dengan pesawatnya, pemerintah mau menjamin asuransi pesawat kreditan itu. Terlebih lagi, saat itu adalah hari libur Natal di berbagai negara, termasuk Australia dan Inggris dimana perusahaan asuransi yang menjamin pesawat-pesawat Susi.
Meskipun pemerintah sudah menjamin, namun pihak asuransi tetap tidak mau menjamin, karena itu di luar kontrak. Tidak berhasil.
Tapi bukan Susi kalau sampai putus asa. Dia coba mengontak kantor pusat perusahaan asuransi di London untuk menjelaskan kondisi di Aceh, dan minta pengecualian. Dan akhirnya diizinkan.
Akhirnya kedua pesawat itu diterbangkan ke Medan. Salah satunya diterbangkan oleh Christian von Stromback, suami Susi. Tapi kendala belum usai. Otoritas Bandara Polonia Medan tidak mengizinkan dua pesawat itu terbang ke Aceh.
Tanggal 28 Desember, Susi langsung menelepon Menteri Perhubungan Hatta Rajasa saat itu juga, untuk minta izin terbang ke Aceh. Dan diizinkan. Saat itu Hatta Rajasa menelepon langsung ke tower Air Traffic Control Bandara Polonia Medan. Dan terbanglah dua pesawat itu membawa bantuan ke Meulaboh, daerah yang paling parah dihantam tsunami.
“Kita menjadi pesawat pertama yang landing di Meulaboh dalam pesawat itu ikut crew CNN. Dan tentu saja CNN melaporkan ke seluruh dunia bahwa mereka adalah crew TV pertama yang masuk Meulaboh dengan menumpang pesawat Susi Air,” kata Susi.
Setelah dua minggu menjalankan misi pertolongan di Aceh, dan siap-siap terbang pulang ke Pangandaran, banyak Non Government Organization international yang mau menyewa pesawatnya. Akhirnya disana pesawat disewa selama lima bulan. Saat itu perusahaan penerbangannya belum punya nama.
“Kita maunya Java Air atau Eagle Air,” kata Susi.
Tapi para aktivis NGO yang mau menyewa pesawat milik Susi di Medan selalu menanyakan Susi Air.
“Saya bilang tidak ada Susi Air. Nama saya Susi! Rupanya, saat terbang pertama ke Meulaboh dimana crew CNN ikut, mereka menyebutkan dalam beritanya, mereka terbang dengan menggunakan pesawwat Susi Air. Makanya bule-bule itu di Polonia selalu mencari Susi Air. Akhirnya saya ngalah, jadilah namanya Susi Air. Dengan missi itu Susi Air bayar zakatnya di depan” jelasnya.
Ekspansi
Kini Susi Air mengoperasikan 26 pesawat. Tahun 2010 ini bertambah lagi 10 unit lagi. Ke-26 pesawat Susi Air itu berpangkalan di Pangandaran, Jakarta, Medan, Balikpapan dan Papua. Jalur perintis yang baru dibuka adalah rute Kendari – Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Saat peresmian rute itu, Susi tegaskan kepada Bupati Wakatobi, Susi Air tidak akan nengangkut cargo yang berisi ikan hias.
“Kalau kami dipaksa, saya kembalikan uang Bapak, saya pulang. Saya gak mau dengar suatu hari orang Wakatobi bilang, ikan hias di sini sudah habis, diangkut pesawatnya Bu Susi.”
Banyak perusahaan penerbangan yang menerbangi rute perintis mengalami kebangkrutan. Menurut Susi, seharusnya mereka tidak boleh rugi karena disubsidi. Kalau rugi, berarti ada yang gak beres dalam manajemen keuangannya.
Susi mengakui, bisnis aviation membuat perusahaannya bleeding dan brutal dalam cashflow. Kredit pesawat di Indonesia tenornya cuma delapan tahun. Padahal di luar negeri bisa 15 sampai 20 tahun.
“Terpaksa kita harus puasa, tiap bulan harus bayar cicilan ke bank dan biaya operasional. Nyaris tak pernah ada likuiditas di perusahaan. Itulah bisnis aviation, when billionaire become millionaire. Karena itulah saya pakai pesawat baru, agar tingkat efisiensinya tinggi,” kata dia.
Kunci sukses Susi Air, menurut penerbang senior Capt. Kabul Riswanto, adalah controlling system perusahaan yang cukup bagus terhadap operasional pesawat, dan pesawat yang dioperasikan memiliki efisiensi tinggi.
“Banyak airliner rute perintis yang bangkrut karena tidak efisien dan tidak adanya pengawasan terhadap crew di lapangan,” kata Kabul yang juga pernah menjadi pilot Garuda untuk kepresidenan ini.
Menurut Kabul, rata-rata margin pada bisnis penerbangan perintis tidak lebih dari 4%. Sehingga untuk mencapai margin itu, diperlukan setidaknya tujuh pesawat yang efisien. Pesawat-pesawat Cessna Caravan yan dioperasikan Susi Air, adalah salah satu pesawat yang paling efisien.
Menurut Susi, di daerah pesawatnya tidak selalu mengangkut penumpang. Di Papua misalnya, Susi Air biasa mengangkut bahan makanan, mayat, tiang BTS, kertas pemilu, semen, gubernur sampai menteri. Sekarang banyak pemda yang men-charter pesawat Susi Air untuk jangka waktu tertentu, dan jika tidak dipakai, pemda-pemda itu menjual seat ke calon penumpang.
Kesulitan utama yang kini dialami perusahaan penerbangan adalah kekurangan pilot. Pilot yang baru lulus sekolah penerbang sudah diambil sama Boeing. Jam terbang co-pilot pesawat besar minimal 3.000 jam, karenanya banyak pilot pesawat propeller yang jam terbangnya sudah di atas 3.000, pindah ke airliner besar.
Kalau memakai pilot asing, kata Susi, urusannya banyak. Harus mengurus ke Depnaker, Department Perhubungan, Kepolisian, BAIS, TNI AU. Tapi itu satu-satunya pilihan, karena pilot lokal tidak ada.
Saat ini, Garuda saja perlu 100 pilot per tahun. Di Indonesia sekarang sekolah penerbangan paling banyak menghasilkan 20 pilot baru per tahun, sedangkan kebutuhannya sekitar 3.500 pilot. Karena itu Susi Air mendirikan flying school di Pangandaran. Sekolah itu mulai beroperasi Juli atau September 2009 lalu.
Pertanyaan yang paling patriotik yang pantas diajukan ke Susi adalah, kenapa tidak memakai produk PT Dirgantara Indonesia? Untuk pesawat kecil buatan PT DI yaitu NC 212, masih terlalu besar untuk mendarat di Pangandaran atau bandara-bandara perintis. Selain itu harganya mahal dan tidak ekonomis untuk mengangkut hasil laut. Belum lagi masalah term and condition-nya yang serba tidak jelas. Kalau memesan Cessna di Wichita, Amerika Serikat jelas, harganya sekian, delivery kapan, kalau tidak tepat bayar penaltinya berapa, dan seterusnya. Tapi kalau pesan ke PT DI, yang jelas hanya harganya, selesainya kapan, jika terjadi ini-itu bagaimana, tidak ada clausulnya.
Ada satu kisah konyol diceritakan Susi. Suatu hari ia diminta datang ke Bappenas untuk menyumbangkan pemikirannya sebagai pengusaha hasil laut yang sukses. Ceritanya, ada pemilik sebuah kapal barang di Spanyol mau menjual kapalnya ke Indonesia. Kapal itu berukuran 5.000 death weight tones.
Menurut orang-orang Bappenas, kapal itu bisa dibeli dengan cara patungan oleh sejumlah koperasi nelayan di Indonesia. Mereka meminta pendapat Susi, sebaiknya kapal itu diapakan agar berguna bagi para nelayan Indonesia.
Pertanyaan itu tidak langsung dijawab oleh Susi. Justru dia balik bertanya, “Siapa yang membiayai perjalanan kapal itu hingga nongkrong di Tanjung Priok?” Tak seorangpun yang ada di sana menjawab pertanyaan Susi. Biaya untuk mendatangkan kapal sebesar itu dari Spanyol ke Jakarta, tidak akan kurang dari Rp 500 juta. Nah, kalau jadi kapal itu dibeli, biaya perjalanan mendatangkan kapal itu akan dimasukkan ke dalam harga kapal. Itu pasti sebuah praktik pat gulipat.
Ada tiga jawaban Susi untuk menjawab, sebaiknya diapakan kapal itu? Pertama, kalau ada modal, rombak kapal itu menjadi restoran seafood yang terapung. Tapi jika tidak ada modal, bisa memilih jawaban kedua, kumpulkan semua nelayan, suruh mereka main bola di sana.
“Biar para nelayan itu gembira.” Dan jawaban ketiga, tenggelamkan kapal itu jadi rumpon, agar menjadi sarang ikan.
“Toh nanti nelayan juga yang untung, kalau ikan banyak berkumpul di situ,” kata Susi.
Mendengar jawaban Susi, orang-orang Bappenas itu marah, dan rapat langsung ditutup. Lagipula, kata Susi, kalaupun dikumpulkan, koperasi nelayan mana yang sanggup membiayai operasional kapal sebesar itu?
Tsunami Pangandaran
Tahun 2005 giliran Pangandaran, kampung halaman Susi yang diterjang tsunami. Bukan hanya industri pariwisata yang hancur, bisnis Susi-pun kembali jatuh. Industri hasil laut terpukul, kembali ke titik nol selama dua tahun. Namun untuk tidak terjadi PHK, saat itu Susi mensubsidi perusahaannya Rp 1 milliar per bulan.
Ada hal yang lebih membuat Susi marah, sehari setelah terjadi tsunami. Saat itu Presden Susilo Bambang Yudhoyono melalui juru bicaranya Andi Malarangeng mengatakan, tsunami di Pangandaran tidaklah separah yang terjadi di Aceh setahun sebelumnya. Sehingga Presiden tidak merasa perlu untuk berkunjung ke Pangandaran.
Mendengar pernyataan seperti itu, Susi langsung mengumpulkan wartawan untuk konferensi pers. Di situ Susi mengatakan, pernyataan seperti yang dikemukakan oleh Andi Malarangeng itu tidak pantas dikemukakan pihak Istana, dan sikap seperti itu menunjukan bahwa Istana tidak memiliki empati bagi masyarakat Pangandaran yang terkena musibah.
“Memangnya nyawa orang Pangandaran tidak lebih penting dibanding nyawa orang Aceh? Kalau Presiden tidak mau datang ke Pangandaran, cukup diam saja. Tidak perlu memberikan pernyataan seperti itu. Kami juga bisa bangkit sendiri. Dan uluran tangan dari sesama masyarakat di Indonesia akan berdatangan ke sini!” kata Susi, geram.
Kemarahan susi seperti itu, terjadi lagi setahun kemudian, tahun 2006 ketika Daerah Istimewa Yogyakarta diguncang gempa. Saat itu Susi mau mengirimkan bantuan makanan dan pakaian dengan pesawatnya. Karena Bandara Adi Sutjipto masih ditutup, maka pesawat siap mendarat di lapangan terbang Kota Gede. Tapi apa yang terjadi? Pesawat Susi tidak diizinkan mendarat di sana, dengan alasan lapangan terbang itu belum diresmikan.
“Sinting nggak alasannya kayak gitu?! Sementara orang-orang di sana menanti bantuan!”
Itulah sosok Susi, yang alam menjadikan pengusaha, musibah menjadikannya sosialita, dan kebobrokan pemerintahan menjadikannya pemberontak. Ketika ditanya, akan seperti apa Susi Air dan bisnis hasil laut miliknya dalam lima tahun mendatang? Dengan mantap Susi menjawab, “Saya tidak tahu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar